Teman dalam kegelapan

21.45

   Hari ini hari Minggu. Aku tak perlu bersiap-siap berangkat sekolah. Aku duduk di meja belajarku, sambil meraba-raba huruf braile yang ada di depanku. Aku lebih senang membaca buku daripada jalan-jalan. Bukannya karena aku takut tersesat lagi, tapi aku takut kejadian dulu terulang lagi.
   Saat aku sedang berjalan-jalan, beberapa anak kecil menghampiriku. Aku dapat merasakan tatapan mereka yang mengejek. Kemudian mereka tertawa dan berteriak.
   "Orang buta! Orang buta!"Bahkan mereka melempariku dengan batu-batu kecil. Sejak saat itulah aku lebih suka mengurung diri.
   Aku membutuhkan teman, hingga Liz datang. Aku tak tahu siapa dia. Saat kali pertama mengenalnya, ia berkata, "Aku hanya untuk kamu, Via. Karena itu, aku minta kau tidak mengatakan kepada siapa pun tentang aku."
   Aku menutup pintu kamar sambil tersenyum.
   "Liz.... ."
   "Aku disini. Kau tampaknya sedang bahagia."
   "Ya. Tadi Mama bilang, Minggu depan ak akan dioperasi."
   Sunyi. Tak ada jawaban. "Liz? Apa kau tidak senang?"
   "Oh, aku senang. Hanya saja... aku takut kau tak mau mengenalku lagi nantinya."
   "Liz kau tak perlu khawatir. Siapa pun kamu, dari mana pun asalmu, aku tak peduli. Kau adalah sahabat terbaikku."
   "Kau akan berkata lain nanti. Percayalah."
   Aku hendak membuka mulut lagi, tapi Liz tidak mengizinkanku.
   "Dunia itu indah. Tapi inagtlah, jangan terjebak oleh keindahan dunia."
   "Liz... ." Sunyi. Tak ada jawaban. Kemana Liz? Dan ... siapa dia?
                                                                            * * *
   Aku terbaring di sebuah ranjang. Suara alat-alat terdengar di telingaku. Aku takut. Kemudian beberapa orang suster dan dokter berbicara., tapi aku tak dapat mendengarkannya lagi. Aku merasa mengantuk. Lalu aku pun terlelap.
   Aku tak tahu apakah aku dalam keadaan sadar atau tidak. Yang jelas, aku merasa tubuhku begitu ringan. Suasana begitu sunyi. Aku merasa sedikit takut.
   "Via, ini aku Liz," tiba-tiba Liz berada di hadapanku. "Jangan takut, tenanglah. Sebentar lagi kau akan bisa melihat. Kau akan menjadi anak yang normal. Kau akan tahu bagaimana indahnya bunga-bunga di taman dan birunya langit. Aku tahu kau adalah anak yang baik. Jangan lupakan mereka yang pernah senasib denganmu. Ingatlah, betapa sulitnya hidup dalam kegelapan."
   Setelah itu semuanya kembali sunyi.
   "Kau sudah siap? Sebentar lagi kau akan bisa melihat."
   "Ya, Dokter. Aku cuma terlalu senang." Aku tertawa kecil. Jantungku berdebar kencang. Mama menggenggam erat tanganku.
   Dokter memegang perbanku, lalu aku mendengar suara gunting. Perbanku mulai dibuka. Aku merasa kepalaku terasa ringan. Berlapis-lapis perban lepas dari kepalaku.
   "Bukalah matamu perlahan-lahan... ."
   Hatiku semakin berdebar-debar. Dan perlahan-lahan ... aku melihat seberkas cahaya. Lalu, makin lama semuanya tampak jelas.
   Kulihat seorang wanita cantik dengan wajahnya yang keibuan. Apakah dia ... .
   "Mama?"
   "Oh Tuhan, kau bisa melihat, anakku ..." Mama memelukku erat sekali. Aku tahu beliau menangis.
   "Terima kasih, Dokter!"
   Dokter itu tersenyum.
   "Berterima kasihlah pada Tuhan, Via. Tuhanlah yang telah memberimu penglihatan ini."
   Setelah itu dokter pergi ari kamarku. Lalu aku terngat sesuatu. "Liz ..."
   "Kau ingin melihat Liz?" tanya Mama. Beliau mengambil sesuatu dari sebelah tempat tidurku, dan mataku terbelalak kaget. Sebuah BONEKA ...
   "Di ... dia Liz?"
   "Ya. Dia Liz. Kau sangat menyayangi dia, kan? Mama tahu kau suka berbicara dengannya. Papamu yang memberikannya sebelum ia meninggal.
   Aku semakin tak percaya. Tiba-tiba kulihat bibirnya bergerak pelahan, seolah-olah mengatakn selamat tinggal. Apakah ini khayalanku? Bulu kudukku merinding.
                                                          

You Might Also Like

0 komentar